Halaman

Kamis, 17 Mei 2012

Roby Fuzi dan Antonin Artaud - Bahasa Putih dan Bahasa Hitam: Oleh Hudan Hidayat

Oleh: Hudan Hidayat
18 Oktober 2010 jam 13:25

Bahasa putih semacam kerinduan tiap cahaya bahasa tapi ia menempuh jalannya melalui simpang bahasa hitam - katakanlah semacam retorik bahasa putih untuk mencapai cahaya pencerahannya - yang kelak absurd juga dalam pandangan totalik hidup. Apakah bahasa hitam? Mungkin bahasa putih semacam nasib yang manis turun ke manusia. Sedang bahasa hitam adalah jalan bagi manusia yang terlunta lunta - fisik dan jiwanya tak hendak diam, tapi juga fisik dan jiwanya telah dikalahkan oleh nasib yang beroperasi di tangan mesin politik.

"Kita begitu berbeda dalam pemikiran
Seperti pasir pantai yang tergusur ombak
menuju lautan, berserakan
"

Itulah yang dituliskan penyair Roby Fuzi dalam puisinya "Irama Datar" dalam puisi. saya yakin ia tak tahu telah menemukan ucapan dalam puisi dengan beningnya ucapan larik yang saya tampi dalam puisinya itu. Sebab puisi itu berselang seling dengan suatu larik yang tak bening - di sana, di puisi penyair Roby ini. Saya juga menemukan larik lain padanan ke beningan ucapan penyair, yang membuatku makin yakin sebenarnya, kalau tiap penyair memasuki hening jiwanya sendiri, maka ia menemukan sumur ucapan yang bening dari jiwanya sendiri. Bahasa tak perlu ditampi oleh para pembacanya. Tapi penyair ini telah memilah mana padi dan mana gabah dalam bahasa.

"Kita berjumpa di pantai yang sama
Penuh tanda tanya
"

Itulah mutiara bahasa yang berlepasan dan berpaduan dengan kehendak bahasa yang dibersihkan dari tubuh induk puisi. Semacam orang membuat emas kata yang kata kata harus disapih, dipisah, dibuatkan terang dan bening, jernih dan hening. Lalu dimasukkan ke dalam struktur totalik kehadiran puisi atau prosa.

Dua larik yang saya turunkan dari penyair, apakah bahasa putih ataukah bahasa hitam? Mungkin belum ke hitam. mungkin Baru pra-kata yang entah hendak ke mana.

Pun kata kata atonin artaud dalam kalimat pembukanya.

Fragments of diary from hell (1925)

"Neither my cry nor my fever belongs to me. This disintegration of my secondary forces, of these concealed elements of thought and of the soul, try to imagine merely their constancy."

Tapi totalik bahasanya adalah hitam dalam perjalanan tapi putih dalam ayakan dari mereka yang hendak membersihkan, mengambil warna putih dari warna hitam bahasa.

Kita perlu merenungkan, dan membawa, tiap warna dasar sebagai warna dasar hidup ini sendiri. Bahasa hitam dan bahasa putih, sebagai nasib kelam dan nasib cemerlang tuhan.

Itulah kebajikan utama dalam bahasa, yang tidak tiap orang dapat beruntung diberikan ilham atasnya. Kita termasuk orang yang beruntung itu. Maka bahasa cepat lesap menghilang jadi ada dalam pengertian Kita. karena formalitas tiap ucapan telah berhasil kita sapih, kita dudukkan. Sebagai bahasa, bahasa pun hendak duduk dalam makam kursinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar