Halaman

Selasa, 15 Mei 2012

Di Amsterdam

Apa yang tersembunyi dalam tetesan air kelu? Hujan menjadi cadar raut kita.
Di Amstel, senja memilin tubuh langit yang jelas tak sama. Tapi tidak dengan kita, mengepal-ngepal remah roti untuk pakan merpati yang lapar.
Di depan Multatuli, perahu-perahu melintas membawa seonggok doa terbaik. Kanal, alur tulus menuju tujuan. Aku ingin berlayar menuju Hindia.
Aku takkan sampai ke Hindia, musim penghujan dengan gelegar petir mengundang badai. Di dermaga, aku menunggu musim baru di perahu tua.
Ku kirim pesan telepon: "Jika waktu adalah setia, setialah untukku tak mengenal waktu. Jika waktu adalah khianat, pergilah tanpa ucapan salam"
Setangkai hujan, semekar tulip. Dalam tuk-tuk suara knalpot mengetuk-ngetuk. Ya ini rindu, sesaat sentuh ingatan melintas kilat.
Kini tibalah perjalananku. Aku menemui penyair-penyair eksil. Mereka memetakan cinta Indonesia Raya, tapi cinta mereka tak pernah hilang komposisinya.
Hujan menemani percakapan kami, mungkin sebentar lagi reda. Dan kota mana yang harus aku singgahi untuk menempuh arah-mu?
Aku menghapus airmata, yang setiap masa-nya bercerita tentang kamu. Seperti hari ini, injury time aku menemui masa yang baru.
Maafkan aku, jalan menuju Hindia belum sempat terpikir kata-kata. Dengan Gipsy yang dinyanyikan pemusik Rumania menenangkanku dengan sederhana.
Aku akan disini! Takkan kutapaki Schipol, atau mendayung perahu tua untuh sampai Hindia. Aku yang slalu merindukanmu, semoga kau pahami kenapa aku disini!

Amsterdam, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar